Kasus First Travel, DPR 'Tantang' Polisi Kembalikan Uang Jamaah

Komisi VIII DPR  merespons positif langkah cepat Bareskrim Mabes Polri yang menetapkan tersangka dua bos PT First Travel, penyelenggara jasa umroh, Andika surachman dan Anniesa desvitasari pada 9 Agustus 2017. Kedua yang suami istri dinyatakan sebagai tersangka terkait dengan  penelantaran sebanyak 35 ribu jemaah umroh yang telah mendaftar lewat PT tersebut.

Keduanya dijerat Pasal 55 juncto Pasal 378 dan 372 KUHP Tentang Penipuan dan Penggelapan serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam kasus ini polisi telah memeriksa lebih dari 11 saksi.

Menjawab pers di Semarang, Minggu (13/8/2017), Wakil Ketua Komisi VIII DPR Dr KH Noor Ahmad MA menegaskan, polisi harus memproses hukum secara tegas mengingat kedua bos travel tersebut telah menipu dengan kedok agama. Maka, harus diadili seadil-adilnya termasuk kemungkinan keterlibatan pejabat.

Noor Ahmad meminta, dalam proses penyidikan polisi harus mampu mengembalikan uang jamaah yang tertipu.

“Polisi harus mengusut seluruh aset untuk dikembalikan uang tersebut sebagai keputusan pengadilan,” tegasnya.

Noor Achmad juga meminta agar pemerintah meningkatkan pengawasan dalam penyelenggaraan umroh serta memberi informasi yang utuh kepada masyarakat tentang beaya umroh yang sebenarnya. Hal ini penting, agar masyarakat punya kewaspadaan terhadap berbagai penipuan umroh dan haji berkedok arisan, invesatasi atau kedok-kedok lain.

"Masyarakat harus diyakinkan, dalam penyelenggaraan haji dan umroh tak ada biaya murah. Maka, bila ada orang menawarkan paket murah, dipastikan mereka itu orang paling jahat, yang memanfaatkan psikologi setiap muslim pasti berkeinginan menjalankan umroh dan haji," imbuhnya.

Respons serupa disampaikan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo, Semarang sekaligus Wakil Ketua MUI Jateng Prof Dr Ahmad Rofiq MA saat dihubungi terpisah.

Dia mencatat, First Travel telah ‘memakan’ korban 35 ribu jamaah umroh. Dari pendaftar yang mencapai 70 ribu orang, hanya 35 ribu yang berangkat, sisanya 35 ribu jemaah tak berangkat dengan berbagai alasan.

Rofiq mencatat, akibat kasus ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) hingga 11 Agustus 2017, menerima aduan 22 ribu orang lebih, semuanya calon peserta umrah dari berbagai biro travel. Yang paling banyak adalah calon jamaah umrah First Travel mencapai 18 ribu pengaduan.

"Paket umrah yang ditawarkan First Travel ada tiga kelas, kelas satu hanya Rp 14,3 juta, kelas dua reguler Rp 25 juta, dan paket VIP Rp 54 juta. Keseluruhan jamaah yang gagal berangkat sebanyak 35 ribu orang dengan tarif Rp 14,3 juta. Total kerugiannya mencapai Rp 550 miliar," tuturnya.

Para biro jasa umroh, menurut Rofiq secara masif menjaring calon jemaah, terkait minat umrah yang kian besar setelah haji reguler masa tunggu antara 25-35 tahun. 
"Kasus umrah  dan haji "murah" atau versi haji cepat berangkat ini tak hanya sekali terjadi, tapi berulang-ulang. Modusnya menawarkan tarif umroh murah. Maka, masyarakat semestinya waspada, cermat, teliti, dan cerdas," ucapnya.

Bila ada biro umrah dan haji menawarkan biaya murah dan tak wajar, apalagi model MLM (Multi Level Marketing) dapat disimpulkan sebagai tanda bakal ada penipuan.

"Kasus First Travel terjadi karena iming-iming tarif murah. Maka semestinya pemilik First Travel dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri untuk mempertanggungjawabkan secara hukum," pungkas Rofiq. (don).
Share on Google Plus

About klikdoni

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar